Senin, 21 Maret 2011

DINAMIKA PENDIDIKAN AGAMA

Dalam masyarakat Indonesia yang heterogen, diperlukan usaha yang sangat serius untuk membangun pemahaman agama masyarakat yang tidak mengedepankan dimensi perbedaan, tetapi yang terpenting adalah membangun pemahaman yang dapat memahami keragaman yang ada. Pemahaman agama dalam konteks semacam ini tidak hanya memahami ajaran agama sebagai ajaran yang sakral semata, tetapi penting juga mempelajari aspek profan dalam agama.
Pendidikan agama, secara paradigmatik bersifat konservatif atau kolot. Dalam segi pembelajarannya, pendidikan agama paling banyak menuai kritik disana-sini karena kebanyakan pembelajaran dalam pendidikan agama di Indonesia selama ini masih banyak mengedepankan materi-materi yang mengarah pada pemahaman sempit agama. Pembangunan pendidikan masa Orde Baru yang sampai saat ini masih banyak dipraktekkan yang cenderung menekankan aspek kognitif semata, dan mengabaikan dimensi-dimensi afektif dan psikomotoris menimbulkan dampak antara lain munculnya gejala kepribadian pecah pada diri individu maupun kelompok.[1] Selain itu, budaya dominan seringkali muncul sebagai aktor utama dalam sistem pendidikan dan dalam menentukan kebijakan. Kebanyakan pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah masih banyak yang bercorak eksklusif – mengajarkan agamanya sendiri sebagai jalan keseamatan dan cenderung merendahkan agama yang lain. Menurut Zakiyudin Baidhawi, pendidikan agama disekolah lebih banyak disajikan melalui pendekatan mengajarkan agama daripada mengajarkan tentang agama. Pendekatan yang pertama melibatkan pendekatan pendekatan historis dan komparatif, sementara pendekatan yang kedua melibatkan indoktrinasi dogmatik yang mampu menyediakan sarana yang memadai untuk menentukan materi pelajaran agama mana yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak.[2]
Pendidikan Agama yang diajarkan diberbgai lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal mungkin belum ada yang memasukan tentang agama-agama lain dalam kurikulum. Kalaupun ada lebih banyak membahas agama-agama lain yang pada akhirnya menjelaskan superioritas agama yang dianut. Pendidikan agama di Indonesia memang telah menjadi masalah yang telah lama diperbincangkan. Menurut Ki Hajar Dewantar, pendidikan agama menjadi sulit karena ada tuntutan supaya sifat keagamaan diberi bentuk yaitu ‘pengajaran Agama’ yang tidak lain adalah hakikat syariat yang diberi bentuk tertentu (formalisasi agama).[3]
Selain dalam hal muatan yang dinilai kaku, keberhasilan pendidikan agama lebih sering dilihat dari seberapa banyak hafalan kitab suci dan pengetahuan tata cara ritual. Teks-teks agama yang diajarkan hanya yang memperkuat iman dan solidaritas seiman. Anak didik diajarkan bagaimana mencintai agamanya sendiri dan bersikap fanatik, seraya tidak menghargai agama-agama lain. Padahal, seperti kata teolog Muslim, Kautsar Azhari Noer, keberagamaan yang menyebabkan permusuhan justru menandakan keagamaan baru pada kulit, belum sampai pada rohnya.[4]
Harun Nasuton mengatakan bahwa pendidikan agama saat ini banyak dipengaruhi oleh trend barat yang lebih mengutamakan pengajaran daripada pendidikan moral, padahal pendidikan agama sebenarnya lebih menitik berakan pada pendidikan moral tersebut. Siti Malikhah Towaf, salah seorang pengamat pendidikan mengatakan ada berbagai kelemahan dalam pendidikan agama disekolah, antara lain 1) pendekatan dalam pendidikan agama masih cenderung normatif, dalam arti masih banyak menyajikan tema-tema yang merujuk pada aturan-aturan yang sifatnya hitam-putih yang seringkali tanpa kontekstualisasi; 2) kurikulum pendidikan agama yang dirancang disekolah lebih banyak menawarkan minimum informasi dan guru agama masih banyak terpaku padanya, sehingga semangat untuk mengembangkan kurikulum tersebut kurang tumbuh dan bersifat monoton; 3) pendidikan agama yang diakui sebagai salah satu aspek dalam membentuk pribadi siswa kurang diberi prioritas dalam dunia pendidikan.[5]


[1] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 125
[2] Zakiyudin Baihawi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 31
[3] Listia, dkk, Pendidikan Agama di SekolahUmum; Penelitian tetang Pendidikan Agama SD, SMP dan SMA di Kota Jogjakarta tahun 2004-2006, (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2005) hlm. 9
[4] Mohammad Ali, Pendidikan Pluralis-Multikultural, dalam Harian Kompas edisi Jum’at, 26 April 2002 atau dalam  http://cetak.kompas.com/read/2002/26/04 endidikan Pluralis -kanfidei ()________________________________________________________________________________________________
[5] Ngainun Nim dan Ahmad Sauqi, Pendidikan Multikultural; Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008) hlm. 185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar