Senin, 21 Maret 2011

KRITIK WACANA AGAMA


Hadirnya Islam dalam ruang sosial masyarakat Arab yang mempumyai karakteristik sosial, ekonomi, politik dan budaya tersendiri. Hal ini memberikan warna tersendiri dalam proses menjadinya Islam sebagai agama manusia. Sejarah Islam yang selama ini kita pahami, banyak memendam realitas dan menyimpan data-data sejarah yang harusnya diungkap secara jelas dan transparan agar tercipta pemahaman yang utuh. Misalnya, konflik politik, perbedaan kepentingan ekonomi dan budaya pariarkhal dan lainnya tidak pernah diungkap dalam eksplorasi sejarah Islam. Sebenarnya kalau kita mau jujur kondisi tersebut yang seringkali melatarbelakangi lahirnya ajaran agama yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran.
Referensi-referensi ke-Islaman yang menjadi rujukan umat Islam seolah-olah telah menghadirkan semua pesan keagamaan yang hendak disampaikan oleh Tuhan melalui Rasulnya. Ssehingga mayoritas umat Islam menganggap bahwa ajaran  Islam yang bersumber dari warisan intelektual klasik adalah ajaran Islam yang final dan tanpa cacat. Persepsi inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya kejumudan dan kemandekan dalam pemikiran ke-Islaman.
Oleh karena itu kajian-kajian ke-Islaman dengan teori dan pendekatan kritis menjadi keniscayaan untuk mengungkap fakta-fakta sejarah selama ini tidak pernah diungkap dalam teks-teks klasik. Fakta-fakta sejarah pra-Islam, sejarah Islam pada periode keNabian, Khulafaur Rasyidin, sampai pada periode kodifikasi merupakan objek kajian historis yang harus kita dekati secara konfrehensif.

Islam dalam Lintasan Sejarah
Secara sosiologis, karakter dan lingkingan Arab yang dikelilingi padang pasir mempengaruhi watak bangsa Arab. Watak alami pasir, selain susah disatukan juga bersifat tidak stabil sehingga mereka sulit untuk disatukan. Watak tersebut juga yang membuat mereka menjadi bangsa yang memiliki fanatisme sekaligus fatalisme yang tinggi. Sehingga antara kafilah yang satu dengan yang lain seringkali terjadi konflik.
Di tengah-tengah bangsa seperti itulah Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk membawa misi Islam. Misi profetik Muhammad secara geografis terbagi menjadi 2 yaitu di Mekah dan di Madinah. Perbedaan geografis ini juga membawa pada perbedaan nuansa pesan yang ia sampaikan pada masyarakatnya.
Pada periode awal keNabian, Mekah menjadi pusat perdagangan Arab dan beberapa daerah sekitarnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gibb; “Mekah adalah kota dagang yang ramai dan sibuk, yang hampir memonopoli perdagangan antara lautan India dan Mediteranian, mengingatkan kita pada palmyra Yunani”. Kondisi sosial ekonomi masyarakat waktu itu sudah mengalami pergeseran dari nomad ke maden dari kepemilikan kolektif ke kepemilikan individu. Tetapi ditengah keramaian Mekah dan keberadaannya sebagai salah satu sentral perdagangan dunia, di Mekah belum terdapat pemerintahan atau kerajaan yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis dan melaksanakannya. Satu-satunya lembaga pemerintahan di Mekah adalah senat yang disebut mala’a. senat ini terdiri dari wakil-wakil suku. Disamping itu keputusan-keputusan yang diambil tidak mengikat untuk dilaksanakan secara penuh oleh suku-suku, kecuali keputusan yang dihasilkan oleh semua suku. Salah satu kontribusi penting Muhammad adalah menyempurnakan alat-alat negara yang tentu saja pada masanya masih mempunyai bentuk yang sangat sederhana.

Bagaimana kondisi keberagamaan masyarakat Arab waktu itu?
Penyembahan mereka terhadap berhala sebenarnya tidak begitu terkait dengan keyakinan yang mereka peluk dan tidak menjadikannya sebagai pengalaman spiritualitas yang mendalam, lebih-lebih kaum badui yang lebih menjunjung tinggi humanisme kesukuannya. Ditentangnya kehadiran Muhammad sebagai Rasul tidak lebih karena beliau telah menyerang sistem sosial dan ekonomi, mengajarkan kesetaraan sosial, menganjurkan distribusi ekonomi dari yang kaya pada yang miskin. Mereka tidak bersungguh dalam menyembah berhala dan tidak memiliki ikatan emosional dengan sesembahannya. Yang mereka khawatirkan adalah ajaran monoteisme murninya yang bisa menghancurkan aset sosial ekonomi yang mereka kuasai. Disamping itu mereka takut pengakuan mereka terhadap Muhammad akan memunculkan suatu bentuk kekuasaan ekonomi politik baru dalam masyarakat oligarki yang mereka bentuk selama ini, yang mana nantinya akan membatasi aktivitas sosial ekonomi yang mereka lakukan sebelumnya.
Persoalan-persoalan tersebut yang kemudian meninbulkan tarik menarik kepentingan antara Muhammad dan elit masyarakat Mekah. Yang berujung pada pengusiran terhadap Muhammad dan umatnya setelah langkah-langkah kompromis yang mereka lakukan tidak mampu menggoyahkan Muhammad untuk melakukan transformasi sosial di Mekah Muhammad kemudian berinisiatif untuk pindah ke Madinah (sebelumnya telah mengirim beberapa orang ke Absyania).
Keadaan Madinah sebelum kedatangan Muhammad mempunyai kultur yang tidak jauh berbeda dengan Makkah. Fanatisme kesukuan, konflik antar-suku yang disbabkan perebutan lahan ekonomi seringkali mewarnai kehidupan mereka. Berbeda dengan di Makkah, di Madinah waktu itu belum ada pemerintahan sebagaimana senat yang ada di Makkah. Sehingga berbagai konflik yang terjadi sulit untuk dipertemukan jalan tengahnya untuk mewujudkan perdamaian antar-suku. Di sinilah peran strategis kehafiran Muhammad sebagai Nabi yang dapat mengkompromikan berbagai perdedaan yang menyebabkan konflik sosial di Madinah.
Pada awal kehadirannya bersama kaum Muhajirin, Muhammad membuat kontrak sosial dengan suku-suku yang ada di Madinah yang mengatur berbagai kebutuhan interaksi sosial di antara mereka. Kontrak sosial ini yang kemudian titik awal pendirian negara di Madinah. Kepemimpinan Nabi waktu itu lebih pada wilayah keagamaan, sedangkan pada sektor ekonomi, politik masyarakat Madinah masih lebih memilih para kepala suku sebagai patron mereka. Persoalan pertama yang dihadapi sebagai pemimpin waktu itu adalah inkonsistensi kaum Yahudi terhadap kontrak sosial yang telah dibuat dan resistensi mereka terhadap ajaran-ajaran Nabi. Bahkan mereka seringkali meneror Nabi dan pengikutnya, baik secara fisik ataupun psikologis. Hal inilah yang kemudian menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang mencerca kaum Yahudi dan perintah untuk berpindah kiblat dari Baitul Maqdis di Yerussalem ke Ka’bah di Makkah.
Selanjutnya, Nabi terus membagun kekuatan sosial-politik dengan terus menyebarkan misi profetiknya ke berbagai daerah di Madinah dan sekitarnya. Beliau juga membangun kekuatan militernya dengan membentuk tentara muslim, membangun kekuatan ekonomi dengan melakukan penghadangan terhadap kafilah dagang kaum kafir quraisy sehingga terjadi perang kecil-kecilan di antara yang memicu perang besar antara kaum kafir quraisy dan pengikut Muhammad atau yang biasa kita kenal dengan perang Badar dan selanjutnya disusul dengan perang-perang lainnya.
Berbeda dengan di Makkah yang lebih menekankan pada aspek teologinya. Di Madinah ajaran-ajaran Islam yang disampaikan lebih bersifat keduniawian. Demikianlah Nabi terus melakukan ekspansi politik, agama dan ekonominya ke berbagai daerah hingga akhir hayatnya. Dan selama kurang lebih 23 tahun beliau mampu meredam fanatisme kesukuan yang tertanam dalam kehidupan bangsa Arab.

Periode Khulafaurrasyidin
Sepeninggalan Nabi Muhammad SAW para sahabat terlibat perdebatan sengit antara kaum Muhajirin dan Anshor tentang siapakah yang berhak dan pantas mengggantikan Nabi. Perdebatan yang terjadi di Saqifah Bani Sa’adah tersebut berakhir pada terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Reaksi terhadap terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah datang dari berbagai kalangan. Misalnya dari Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menyatakan keluar dari Islam. Konflik tersebut berujung pada peperangan yang biasa kita kenal perang Yamamah, yaitu perang antara Abu Bakar dengan segenap penentangnya seperti Musailamah al-Kadzab dan kawan-kawan. Beruntunglah konflik tersebut dapat segera diredam dan Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke beberapa daerah.
Setelah Abu Bakar meninggal pada 22 Agustus 63 M, tampuk kepemimpinan dipegang oleh Umar bin Khattab. Pada masa Umar bin Khattab, konflik internal umat Islam kadangkala masih mewarnai pemerintahannya. Salah satunya di picu oleh ketidaksenangan Bani Umayah terhadap Umar bin Khattab yang kemudian menghasut seorang ahli pedang Majusi yang sedang mengabdi pada Umar bin Khattab, bernama Lu’luah. Dialah orang yang kemudian hari membunuh Umar bin Khattab. Sebelum Umar bin Khattab meninggal, dia menunjuk enam orang sahabat yang berhak dan pantas menggantikannya. Mereka adalah Usman, Ali, Thalhah bin Zubair, ZUbair Awwam, Abdullah bin Umar, dan Abdurrahman bin Auf. Unsur fanatisme kabilah-lah yang telah mengantarkan Usman bin Affan sebagai khalifah, setelah melalui proses negosiasi di antara mereka berenam yang dimediasi oleh Abdurrahman bin Auf yang juga berasal dari Bani Umayyah sebagaimana Usman bin Affan.
Pada enam tahun pertama pemerintah Usman semua aktivitas dapat berjalan dengan normal, kemajuan dan kemenangan diraih dimana-mana. Dan pada enam tahun kedua Usman telah memasuki usia senja sehingga hampir semua urusan pemerintahan dijalankan oleh sekretarisnya yaitu Marwan bin Hakam. Kesempatan ini digunakan olehnya untuk mengganti beberapa gubernur dan petugas zakat. Mereka digantikan oleh orang-orang yang berasal dari Bani Umayyah. Situasi ini kemudian diperburuk oleh gaya hidup pejabat pemerintahan saat itu yang hedonis. Hal inilah yang menyebabkan ketidakpuasan beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di Mesir, Kufah dan Basrah. Di Mesir misalnya banyak rakyat Mesir yang tidak puas dngan kepemimpinan Abdullah bin Abi Sarah bahkan mereka juga menuntut mundurnya Usman sebagai khalifah. Tarik menarik kepentingan inilah yang kemudian berujung pada demontrasi besar-besaran dari Mesir, Kufah dan Basrah yang berujung pada pembunuhan Usman Bin Affan.
Setelah Usman wafat para sahabat mengadakan rapat mengenai pergantian khalifah. Hadir waktu itu Thalhah, Sa’ad bin Abi WaqashAbu Hurairah, Abdullah bin Umar dan lainnya. Rapat ini kemudian menobatkan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Usman Bin Affan. Pada awal pemerintahannya banyak tuntutan dari berbagai kelompok masyarakat terutama dari Bani Umayyah yang menuntut pengusutan pembunuihan  terhadap Usman. Di tengah mengalirnya berbagai tuntutan tersebut, Ali membuat kebijakan kontroversia dengan memecat semua pejabat pemerintahan yang berasal dari Bani Umayyah kecuali Muawiyah bin Abi Sufyan yang waktu itu menjabat sebagai gubernur Syam.
Konflik internal umat Islam pada masa Ali makin merebak ke mana-mana bahkan di kalangan para sahabat sendiri sendiri sehingga timbul peperangan antara kubu Ali dengan kubu Aisyah, Thallhah bin Zubair dan Zubair bin Awwam. Perang antar sahabat tersebut biasa kita kenal dengan perang Jamal yang berakhir pada kemenangan Ali dan terbuhnya Zubair dan Thallhah. Perang kedua terjadi antara kubu Ali dan kubu Muawiyah dalam perang Shiffin. Dalam perang tersebut dicapai sebuah kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian di antara mereka dengan jalan tahkim yang masing-masing kubu menunjuk satu orang sebagai perwakilan mereka. Terlepas dari kesepakatan yang telah dibuat antara Ali dan Muawiyah. Di kubu ada terdapat perbedaan antara mereka yang setuju tahkim dan mereka yang menolaknya. Dalam momentum tahkim itulah diputuskan pemecatan Ali sebagai khalifah dan digantikan Muawiyah. Hasil tersebut merupakan bagian dari telikungan Amr bin Ash sebagai wakil dari Muawiyah terhadap kesepakatan yang dibuat dengan Abu Musa al-Asy’ari untuk memecat keduanya dari jabatan mereka masing-masing.
Mulai saat itulah terjadi tragedi besar (al-fitnah al-kubra). Umat Islam yang baru 30 tahun ditinggal Nabi sudah tercabik-cabik dalam kelompok-kelompok. Namun perpecahan tersebut masih terbatas pada perpecahan politik tetapi dalam perjalanan sejarahnya kemudian menimbulkan perbedaan pendapat dalam persoalan teologi.

Periode Tadwin
Tradisi kritik dalam Islam sebenarnya bukanlah hal baru karena kelahirannya telah mengandung unsur kritik terhadap kondisi masyarakat Arab jahiliah yang sangat membelenggu keyakinan, ekonomi maupun budaya.
Dalam tradisi keilmuan Islam sebenarnya sudah cukup lama mengenal tradisi kritik yaitu sejak abad 3 H. Hal ini dilakukan sebagai respons terhadap warisan intelektual abad sebelumnya. Tradisi keilmuan Islam, secara dokumentatif dimulai sejak abad k-2 H, ditandai dengan dibukukannya hadist Nabi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). Kemudian disusul karya lainnya seperti kitab Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas (179 H). Sejak itulah geliat keilmuan umat Islam terus berkembang dan menemukan momentum keemasannya pada abad ke-7 H pada masa khalifah al-Makmun.
Banyaknya karya keislaman yang cukup lengkap untuk zamannya ternyata membuat generasi selanjutnya terbuai dan terlena dengan apa yang telah dihasilkan dan dimilikinya. Bahkan di kalangan mereka menyikapi karya-karya tersebut sebagai hal yang sudah selesai dan final. Asumsi inilah kemudian yang menyebabkan hilangnya produktivitas kaum muslim untuk melahirkan karya-karya baru dalam studi keislaman. Karya-karya yang dihasilkan hanya sebatas reproduksi terhadap apa yang telah ada sebelumnya.
Tradisi inilah yang kemudian terus dilestarikan sampai sekarang ini. Bahkan penyikapan mereka mengarah kepada pembakuan dan pensucian terhadap karya-karya yang dihasilkan pada abad ke-2 sampai ke-7 H tersebut.
Dalam situasi seperti inilah tradisi kritik dalam Islam perlu dihidupkan kembalia untuk memberikan penyegaran tyerhadap pemahaman keislaman yang selama ini telah mengalami pembekuan dan pembakuan bahkan pensucian terhadap warisan intelektual klasik. Kehadiran Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Abed al-Jabiri dan tokoh Islam kritis lainnya telah memberikan perspektif baru dalam melihat tradisi keislaman.

Kritik Nalar untuk Penyegaran
 Kritik nalar dalam istilah filsafat adalah kritik epistimologi, yaitu terhadap metodologi yang melahirkan dan menyusun struktur ilmu. Munculnya kritik nalar merupakan respon terhadap kebekuan study Islam dan ketidakpuasan terhadap metodologi kajian Islam yang berkembang selama ini. Kritik nalar dalam konteks ini ditujukan pada seluruh bangunan keilmuan Islam yang dilihat sebagai produk sejarah pemikiran keagamaan biasa yang memiliki dimensi relativisme. Analisis epistimologis dengan mengedepankan kritik harus diterapkan pada teks suci maupun profan, historis ataupun filosofis, teologis maupun yuridis, terlepas dari status kognitifnya dalam sebuah tradisi keyakinan, pemikiran dan pemahaman. Muara dari proyek kritik nalar adalah memecahkan postulat keagamaan yang selama ini berada dalam wilayah “tak terpikirkan” yang kemudian menjadi “tidak dapat dipikirkan”.
Dalam konteks kritik nalar, Islam dan sekian tradisi keilmuan yang dmilikinya diposisikan sebagai obyek studi yang mengedepankan rasionalitas dan obyektivitas dalam mengkaji Islam. Untuk memperoleh pandangan yang obyektif mengenai sebuah kajian ilmiah, sikap menjaga jarak antara subyek dan obyek yang diteliti menjadi keniscayaan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kejernihan atas materi kajian sebagaimana adanya, tanpa ada pengaruh dari emosi maupun kepentingan dari pihak luar.
Dari sinilah al-Jabiri hadir menawarkan 3 jenis pendekatan yang memungkinkan tumbuhnya tingkat obyetivisme dalam kajian tradisi. Pertama, metode strukturalis yang mengkaji tradisi melalui metode yang berangkat dari teks-teks yang dilihat sebagaimana adanya dan meletakknnya sebagai sebuah korpus terbuka, satu kesatuan sistem. Hal penting yang harus dilakukan adalah melokalisir pemikiran produsen teks (penulis, sekte dan lain-lain) pada satu fokus.
Kedua, analisis sejarah. Pendekatan ini berupaya untuk menghubungkan pemikiran pemilik teks dengan lingkup sejarahnya, ruang lingkup budaya politik dan lain sebagainya. Hal ini penting dilakukan karena 2 hal, yaitu keharusan memahami historisitas dan genealogi pemikiran sekaligus untuk mengetahui apa yang terungkap dalam teks (said), apa saja yang tidak terkatakan (non said), apa saja yang dikatakan namun tidak pernah terungkap (never said).
Ketiga, ktitik ideologi. Pendekatan ini dimaksud untuk mengungkap misi ideologis, termasuk fungsi sosial-politik yang dikandung dalam sebuah teks. Tiga pendekatan tersebut saling terkait satu sama lainnya dan berguna untuk merekonstruksi tradisi dalam bentuk baru dan pola hubungan yang baru serta menjadikannya lebih kontekstual dalam pemahaman yang rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar