Rabu, 15 Desember 2010

Pendidikan Agama Yang Mendamaikan

Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai macam suku, ras, etnik, agama serta budaya. Kekuatan yang majeuk tersebut tentunya dapat menjadi sebuah kekauatan sosial dan sebuah kumpulan yang indah apabila antara satu dengan yang lainya dapat saling bahu-membahu, saling bekerjasama untuk dapat membangun negara. Namun dilain pihak, kemajemukan tersebut akan menjadi sebuah kekuatan penghacur dari dalam apabila keragaman yang ada tidak dibina dan dikelola secara tepat. Keragaman yang sudah ada semenjak negara ini dilahirkan dapan memicu konflik dan kekerasan yang dapat menggoyahkan dan menghacrkan sendi-sendi kehidupan negara Indonesia.

Para foundig father negara ini telah bersepakat ketika membentuk negara ini menjadi sebuah negara yang mengesampingkan perbedaan yang ada sehingga dapat terwujud sebuah negara yang tangguh yang disegani oleh dunia. Presiden Soekarno saat itu bersikeras menepis segala perbedaan yang ada. Soekarno beserta tokoh lain pemersatu bangsa saat itu menolak dengan tegas berdirinya negara yang berdasarkan atas asas islam atau agama lainnya karena dalam diri Indonesia tidak hanya hidup orang-orang yang memiliki satu agama, selain itu tentunya hal ini juga memici disintegrasi bangsa Indonesia dan perpecahan dalam tubuh Indoneisa yang saat itu masih sangat muda. Perbedaan yang ada mencoba untuk disatukan dengan Pncasila dan Undang-Undang Dasar yang telah ibentuk saat itu sebagai dasar negara. Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Darma Mangroa – berbeda-beda tetapi tetap satu jua untuk mewujudkan satu tujuan yang sama, itulah semboyan yang digagas founing father bangsa Indonesia yang diambil dari seorang empu di zaman Majapahit, Empu Tantular, yang saat itu juga sedang bercita-cita menyatuan Nusantara dengan menepis segala perbedaan.

Keanekaragaman Indonesia kemudian dikenali, diakui dan dikukhkan didalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman keidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan yang berlaku hingga saat ini. Sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan, pengakuan dan pengukuhan keanekaragaman tersebut, dibangun berbagai program pendokumentasian, pemahaman dan pelestarian aneka budaya Indonesia sebagaiman tampak pada masa Orde Baru meski pada akhirnya paham multikulturalisme yang ada pada saat Orde Baru sempat disalahgunakan sehingga menjurus pada paham monokultural.

Keanekanganragaman yang memperkaya budaya bangsa ini tentunya sangat disayangkan apabila dikemudia hari menjadi pemicu konflik yang meretakkan sendi kehidupan bangsa Indonesia. Hal semacam ini tentunya tidak kita inginkan, karena apabila terjadi serangan dari luar tentunya akan mudah mengoyak kita semua.

Di Indonesia kita mengenal adanya lima agama besar yang kemudian ketia KH Abdurahman Wahid atau lebih kita kenal dengan Gus Dur menajbat sebagai pimpinan tertinggi negeri ini, beliau meresmikan Konghucu sebagai salah satu agama nasional. Dengan adanya perbedaan yang sudah menjadi sunatullah tersebut, seharusnya kita dapat merenung bersama bahwa itu adalah tanda kekuasaan Tuhan Yang maha Esa. Tak sepatutny kita hanya mencari perbedaan yang akan berujung pada kehancuran negara ini. Dalam hal ini seharusnya para petinggi agama menjadi pengayom bagi umatnya.


Keba
nyakan para penganut dari masing-masing agama masih cenderung bersikap ekslusif dan belum bisa menerima perbedaan yang ada. Mereka yang mencoba untuk sadar, dituding dan dianggap keluar dari konteks keimanan mereka. Mereka dianggap megakui agama berdasarkan paham relatifisme. Hal ini sangatlah mengecewakan sekali. Kita semua tidak mungkin dapat menumbuhkan semangat kebersamaan dalam wadah Indonesia Raya jika masing-masing individu masih terjebak dalam alur masa lalu. Masa dimana pertentangan agama masih sangat sering terjadi, masa benturan fisik yang menelan jutaan nyawa manusia sebagi korbanya atas dasar membela agama mereka yang mereka anggap paling benar. Agama sebagi kendali utama dalam kehidupan bermasyarakat tentunya haruslah kita pelajarii secar seksama, kita semua sebagi pmeluka agama lebih jeli dalam memahami agama kita masing-masing. Agama diturunkan bukanlah utuk menghakimi pemelukk agam lain, tetapi agam diturunkan adalah untuk menciptakan kehidupan yang harmonis untuk tiap makhluk yang hidup di alam semesta ini.

Perkembangan agama-agama di Indonesia belum berdampak positif terhadap kebangsaan, malah menjadi sebuah faktor kemunduran hidup berbangsa. Agamawan lebih tertarik mengembangkan teologi yang menguatkan identitas kelompok. Teologi yang berkarakteristik aliran. Dari umat untuk umat. Bukan dari umat untuk bangsa. Bangsa direduksi menjadi umat.
Dan, kebangkitan umat tidak serta-merta kebangkitan bangsa. Agama dipropagandakan mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Umat didorong menjadi fanatik seolah fanatisme berkorelasi dengan kesejahteraan. Maraklah simbol-simbol dan pernak-pernik agama.
Untuk menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi, kita perlu menanamkan kepada genarasi muda saat ini megenai asas kebersamaan yang harus dijunjung tinggi bagi setiap warga negara. Salah satu cara yang sangat efektif adalah melaui media pendidikan.

Kita perlu mengenalkan kepada genersai saat ini, bahwa Indonesia terbentuk melalui persatuan dari berbagai unsur agama, ras, budaya, bahasa dari Sabang sampai Merauke. Kita perlu menggagas pendidikan agama yang sifatya tidak lagi mendoktrin atau sekedar dogma-dogma kepada pemeluknya tentag ekslusifisme agama yang nantinya akan menumbuhkan sifat fanatisme dalam beragama. Tentang aqidah dan kepercayaan memang dan sudah pasi hal ini sangat berbeda antara agama satu dengan agama lain. Tetapi
perbedaan semacam ini tidak perlu kita ungkit-ungkit kembali. Pendidikan haruslah dapat menumbuhkan sikap toleransi dan saling memahami terhadap perbedaan yang memang telah digariskan oleh Tuhan. Tetapi ironisnya pendidikan agama yang seharusnya menjadi pioner dalam mengembangkan sikap toleransi atas dasar persamaan sebagai hamba Tuhan masih bersifat dktrin-doktri yang banyak menimbulkan kebencian atau akhirnya hanya menumbuhkan sikap fanatisme kepada kepercayaan mereka masing-masing. Pendidikan agama semacam ini harus sedikit demi sedikir dirubah karena salah satu pesan yang ditekankan oleh semua agama adalah pentingnya penciptaan perdamaian berdasarkan prinsip persamaan dan kesatuan manusia. Pesan dasar semacam ini tampaknya belum menjadi rujukan kolektif bagi semua pemeluk agama.

Pendidikan yang hanya berisikan dogma yang hanya meyakini kebenaran tunggal semacam itu sedikit demi sedikit haruslah kita ubah menuju pendidikan yang mengenalkan kepada generasi selanjutnya akan pentingnya toleransi dalam kehiupan dalam sebuah kmunitas.

Pendidikan agama yang berwawasan multikultural perlu kita rancang dan kita tindak lanjuti sebagai media dan sarana untuk meredakan konflik berkepanjangan yang terjadi di negeri ini dan juga sebagai pengenalan kepada generasi selanjutnya terhadap perbedaan yang sudah menjadi sunatullah dan tidak bisa kita pungkiri lagi tetapi kita perlu cari titik temu dari perbedaan yang ada sehingga dapat tercapai kehidupan yang harmonis dalam masyarakat dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar